Postingan

I untuk Ikan, ID untuk Identitas*

Gambar
“Dari mana kamu tahu kamu adalah A?” “Dari orang-orang yang menyebut dan memanggil saya dengan nama A.” “Sudahlah, berhenti menanyakan pertanyaan  yang hanya akan membuat saya semakin tidak mengenal siapa saya!” A untuk Awal Saya terteror oleh tingkah laku A, tokoh utama dalam pementasan ID yang tampak begitu gelisah sebab tidak dapat mengenal dirinya sendiri. Ia merasa kosong lalu mencari apa saja yang dapat mengisi dirinya. Ia mencari pada cermin yang memantulkan sosok semasa kecilnya yang terus menuding. Ia mencari pada ruang kelas yang setiap hari hanya menampilkan monolog bukan dialog. Ia mencari pada kisah percintaan yang memberinya kepuasan melalui kenikmatan sesaat tetapi malah semakin membuat ia kehilangan dirinya sendiri. Ia hadiri pesta-pesta yang ramai. Ia dengarkan lagu yang sedang orang-orang dengarkan. Ia ikuti gerombolan yang tak satu pun dari mereka tahu hendak ke mana. Ia keluhkan berbagai hal pada siapa saja yang ia temui, tetapi menghindari s

Buku-buku Tentang Manusia

Ma, buku-buku tentang manusia dijual begitu mahal. Bagaimana saya bisa memilikinya? Skripsi tetap mesti saya rampungkan. Tapi saya juga ingin punya lipstik baru  dan jalan-jalan ke tempat baru. Ma, tulisan saya satu pun tak ada yang laku.  Ada yang menawar tapi cuma dihargai seribu.  Saya ingin minta uang padamu untuk beli satu buku  yang harganya dua ratus ribu.  Tapi malu. Kau tahu Ma, padahal isi buku itu hanya berbicara tentang manusia  dan kekerasan yang melekat padanya.  Perihal itu, saya bisa menemukannya di pekarangan rumah kita.  Tapi, dosen-dosen saya tak akan peduli,  kata mereka; yang penting mengandung teori. Ma, skripsi saya mesti tetap dirampungkan.  Bagaimana saya memilikinya, Ma? Pandeglang, Januari 2018 akhirnya, setelah sekian lama saya kembali.

Ruang Kematian yang Lain Lagi

 L agi-lagi kau bersembunyi dalam ruang kecil dengan jendela yang terkunci tanpa pintu, kedap suara. Kau bisa lihat, bagaimana kesunyian merambati dinding-dinding itu. Melumat habis lukisan yang terpaku. Membuat laba-laba, kecoak-kecoak, dan tikus-tikus yang selama ini menjadi temanmu pergi ketakutan. Dan kau bisa lihat bagaimana warnanya; hitam yang luntur, abu-abu yang pekat, dan coklat yang membatu. Bau busuk dari kebohongan yang selama ini kau pendam menguar, membuat udara di sekitarmu terasa pahit lehermu tercekik oleh kata-kata mereka tentang bau busuk itu yang selalu melekat pada tubuhmu, pada ucapanmu, pada tatapan matamu. Perlahan, sesak merambati seisi ruangan. Mengikat kedua sisi tubuhmu dengan apa yang tak terlihat. Membunuhmu secara perlahan, dengan kesakitan dalam kesendirian. Tetapi kau tetap bersikeras untuk membiarkan jendela itu tetap terkunci. Kau ciptakan lagi kematianmu, lebih pedih dan menyakitkan dari sebelumnya.

Sudah Setahun

Sudah setahun Ayah tak pernah ada di rumah, ibu juga. Mereka selalu saja pergi. Ayah hanya pulang sebulan sekali dan hanya satu hari. Setiap hari Ibu pergi sebelum pagi dan pulang selepas senja menepi. Yang bisa kulihat setiap harinya adalah kamar yang kosong, ruang keluarga yang sepi, ruang tamu yang sunyi, dapur yang tak pernah lagi berasap, teras rumah yang hanya dipenuhi debu dari jalan raya, seisi rumah kurasakan sesak oleh kehampaan. Ayah pulang hanya untuk menjalankan kewajiban. Ibu pulang hanya untuk mempertahankan keadaan. Tak pernah lagi mereka tersenyum ceria seperti sedia kala. Aku sangat ingin pergi dari sini, berlari keluar dan berteriak pada seluruh penghuni dunia bahwa aku ada. Tapi mereka, tak pernah bisa melihatku lagi, sejak setahun yang lalu, semenjak jasadku ditemukan terkapar di dekat tugu. 

Tak Mungkin

Tak mungkin menyentuh air, tak basah. Tak mungkin menyentuh api, tak terbakar. Kamu bukan air, tetapi aku basah kuyup dan menggigil. Kamu bukan api, tetapi aku terluka dan terbakar. Tak Mungkin (tumblr)  

Diceritakan Senja

Ada yang selalu diceritakan senja Tentang kesabaran menghadapi pertemuan dan perpisahan Tentang siang yang terus menanti malam Tentang malam yang harus rela ditinggalkan siang Tentang perjanjian di hari esok, untuk kembali bertemu lebih lama Sesaat, kita dipertemukan di persimpangan Tak ada yang dapat menghentikan waktu Begitupun dengan pertemuan yang harus berlalu Hingga akhirnya, aku hanya bisa terdiam ditemani sendu Dan sedikit demi sedikit merangkai kata tentang rindu. 2014

Wanita yang Berbeda

Pukul 16.30 Aku datang tepat waktu. Sore ini, kami berdua berjanji untuk kembali bertemu setelah hampir satu minggu semua pekerjaan menyita seluruh waktuku. Dari depan pintu, Aku dapat melihatnya duduk di sudut cafe, sedikit terpisah dari pengunjung lainnya. Tempat biasa kami menghabiskan segelas kopi dalam genggaman masing-masing. Seperti biasa ia selalu datang lebih awal dari waktu yang telah ditentukan. “aku tak suka menunggu, itu lah alasannya kenapa aku tak ingin membuat orang lain menunggu.” Itu yang selalu ia katakan. Dan aku belajar hal itu darinya. Ia langsung tersenyum saat menyadari kehadiranku. Masih menggunakan blezer kerja berwarna hitam,yang menandakan bahwa ia tak sempat pulang ke rumah. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Rasa lelah terpancar jelas di wajahnya, entah karena pekerjaan atau karena hubungannya dengan laki-laki itu. Tapi bagaimanapun, Ia selalu terlihat cantik. Aku melanjutkan langkahku dan duduk di hadapannya. Tanpa banyak haha dan hihi akhirnya